19 Desember 2008

Privatisasi Air dan Kepentingannya

Para pembuat kebijakan, pengusaha dan aktivis di bidang keairan pada pertengahan Maret 2000 lalu yang telah berkumpul di Den Haag, Belanda melahirkan kesepakatan mengenai bahaya krisis yang paling penting di bumi ini, yaitu air. Forum yang dihadiri sekitar 3000 wakil dari berbagai sektor tersebut telah mengadakan ratusan lokakarya dan perundingan mengenai keberadaan dan pembagian air untuk memenuhi kebutuhan penghuni planet bumi ini. Bersamaan dengan acara tersebut juga diadakan pameran tentang problem yang dihadapi negara-negara di belahan dunia ini tentang kondisi airnya.

Salah satu laporan penting dalam pertemuan tersebut adalah penelitian panjang oleh kelompok pemikir, Komisi Air Dunia untuk Abad ke-21. Komisi ini mengingatkan bahwa sekitar satu miliar penduduk dunia tidak memiliki akses pada air dan dua miliar jiwa lainnya sistem sanitasinya buruk. Padahal, populasi di bumi akan terus meningkat dari enam miliar menjadi delapan miliar jiwa pada tahun 2025. Dan kebutuhan air di kota-kota besar dan industri juga akan menambah permintaannya.

Dalam dua dasawarsa berikutnya diperkirakan air yang dipergunakan manusia akan meningkat 40 persen dan 17 persen lebih pasokan air diperlukan untuk meningkatkan pangan dan populasi. Di sisi lain kondisi sumber-sumber air makin parah, khususnya di negara-negara miskin karena masalah pencemaran dan limbah.

Untuk itu diserukan investasi dalam pengadaan air naik dari 70-80 miliar dolar AS setahun menjadi 180 miliar dolar dan membiarkan sektor swasta untuk menyediakan pengadan air atau privatisasi air.

Namun dalam pembukaan World Water Forum II di Den Haag tersebut diwarnai dengan unjuk rasa yang unik. Di hadapan ribuan peserta tiba-tiba sepasang pria-wanita naik panggung membuka seluruh busana yang dikenakan. Telanjang bulat! Menolak privatisasi pengelolaan air. Karuan saja tontonan ini membuat Pangeran Oranye sebagai tuan rumah menjadi repot.

Sebagaimana diketahui, ide privatisasi air ini dipromosikan oleh Bank Dunia dan badan-badan keuangan internasional lainnya, karena hampir semua pemerintah di negara-negara belahan dunia tidak mampu mengalokasikan anggarannya yang cukup untuk membangun sarana air bersih dan sanitasi.

Akibatnya sekitar 1,2 miliar orang atau satu dari setiap lima penduduk bumi tidak mampu mendapat air sehat untuk minum. Sekitar tiga miliar jiwa atau separo penduduk dunia, tidak mendapat pelayanan sanitasi yang diperlukan untuk kesehatannya. Pada gilirannya, penyakit yang berkaitan dengan air membunuh empat juta anak setiap tahun atau satu anak dalam setiap delapan detik. Dampak lain, lebih dari 800 juta anak manusia setiap malamnya pergi tidur dalam keadaan perut lapar. Untuk mengatasi ketidakmampuan pemerintah menyisihkan dananya bagi keperluan tersebut, maka sektor swasta melalui privatisasi ingin dilibatkan dalam bisnis air.

"Issue Sensitive"

Masalah privatisasi dan pembangunan bendungan yang selama ini sarat dengan muatan politis merupakan dua isu yang paling gencar mendapat tanggapan dalam dialog langsung dengan wakil- wakil National Government Offices, NGOs dari belahan dunia. Privatisasi atas bisnis air mendapat sorotan tajam, mengingat bahwa air itu meskipun bernilai ekonomis tetapi tetap saja merupakan kekayaan masyarakat yang harus dikelola dengan asas keadilan.

Ini merupakan titik pandang masyarakat maju di Eropa, dan lebih relevan lagi bagi negara-negara yang masih sedang berkembang. No profit from water menjadi sentimen yang mencuat ke depan dan diketengahkan dalam berbagai sidang.

Ketidakberhasilan banyak pemerintahan untuk mengerahkan dana pembangunan prasarana air, mendorong pihak Bank Dunia dan berbagai lembaga keuangan internasional lainnya untuk mempromosikan privatisasi bisnis air. Sebagaimana terjadi dalam sektor-sektor lain, maka di sektor sumber daya air ini pun belakangan menguntit dengan ketat para Multi National Corporation (MNC), yang mencium adanya peluang mencari laba. Padahal air mempunyai keunikan fungsi sebagai sumber kehidupan yang mengutamakan pemerataan dan keadilan.

Bank Dunia dan badan keuangan internasional lainnya dalam antusiasmenya menganjurkan privatisasi sektor air minum dan sanitasi sempat mendistorsikan kebebasan negara peminjam untuk memilih alternatif pendanaan.

Ini dilakukan melalui beberapa persyaratan dalam bantuan pinjaman yang diberikan. Misalnya, melalui Loan conditionality; dengan memaksakan privatisasi jasa pelayanan air seba- gai syarat diperolehnya pinjaman. (Mozambik, 1999), membiayai MNC ketimbang badan usaha milik pu- blik yang sudah ada dan sehat. (Bolivia 1997) dan mengamankan keuntungan ketimbang memperbaiki kinerja operasi dan akuntabilitas publik. (Buenos Aires).

Arus privatisasi seolah menafikan bahwa masih ada badan usaha milik publik yang bisa bekerja dengan efisien dan memuaskan. Gelombang privatisasi ini kalau tidak dicermati sepertinya akan mengulang segalanya.

Di banyak negara yang menerima pinjaman Bank Dunia, aliran privatisasi sudah berhasil dijadikan aliran utama dalam perumusan kebijak- an. Padahal inti masalahnya ialah bagaimana melakukan pengelolaan air dalam suatu sistem yang sanggup memberi pelayanan air kepada masyarakat secara adil, merata dan terjangkau.

Apakah unit pelayanan itu berbentuk badan publik atau swasta tidak perlu dipermasalahkan. Apabila perusahaan publik bisa bekerja secara efisien jangan dipaksakan untuk menjadi bisnis swasta. Tetapi apabila swasta dapat melayani lebih baik maka jangan ditutup pintunya.

Pembenahan PDAM

Permasalahan privatisasi air di Indonesia persoalannya justru menjadi lebih rumit. Karena hampir semua Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) saat ini dalam kondisi tidak mampu membayar utang-utangnya. Malahan banyak yang sedang menuju ke jurang kepailitan. Dalam situasi seperti inilah, maka privatisasi air seolah-olah merupakan obat mujarab untuk membereskan masalah air bersih. Di sisi lain, kita mengetahui bahwa rekrutmen jajaran manajemen perusahaan air bersih sangat diwarnai oleh berbagai kepentingan. Ditambah lagi PDAM sering dijadikan sapi perah oleh para pejabat daerah.

Karena itu, di samping pembenahan perusahaan-perusahaan publik tersebut, privatisasi air hanya dilakukan dalam pola PPP (private-public-partnership), sehingga faktor-faktor pe- merataan dan keadilan bisa dipertahankan.

Tentang keadilan dan pemerataan harus diakui bahwa PDAM telah melakukan diskriminasi terhadap masyarakat miskin. Target pembangunan dan ekspansi jaringan pelayanan air bersih selama ini terkesan ditujukan pada pencapaian target sambungan rumah. Artinya, bahwa jaringan distribusinya diutamakan ke daerah permukiman rapat dan daerah gedongan.

Sedangkan daerah-daerah pinggiran dan daerah miskin hampir tidak terjamah. Padahal mereka juga punya hak yang sama untuk mendapatkan air bersih yang murah. Akibat dari perlakuan ketidakadilan ini penduduk miskin yang hidup di daerah-daerah kumuh ini malahan membayar air bersih jauh lebih mahal ketimbang penduduk gedongan.

Bayangkan mereka membeli air kaleng, yang harganya mencapai Rp 500 per 20 liter, sehingga untuk permeter kubiknya jauh lebih mahal dari pada harga yang ditetapkan oleh PDAM untuk para langganannya.

Kemudian dari segi perencanaan nasional, perhatian diberikan lebih kepada daerah perkotaan ketimbang daerah perdesaan. Padahal penduduk pedesaan jumlahnya mendekati 70% dari penduduk Indonesia. Kesimpulannya kita perlu reformasi mengenai paradigma pembangunan yang dianut selama ini.

Mengenai jaringan sanitasi, ceritanya akan lebih memprihatinkan lagi. Perhatian terhadap prasarana kesehatan kita ini, boleh dibilang hampir tidak ada.

Tidak heran kalau harapan hidup orang Indonesia merupakan yang terendah dibanding negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Tentang anak yang meninggal karena penyakit terkait air, datanya tidak akurat seperti halnya dengan data lainnya.

17 Desember 2008

Islamik anarkisme moderen dan internet

Dibeberapa tahun terakhir ini, telah banyak diskusi yang membahas kosep dari ajaran Islam Anarkis, khususnya diadakan oleh seorang punk Muslim dari Amerika, Michael Knight. Namun jarang adanya bukti nyata keberadaan portal dari Muslim Anarkis, sampai pada 20 Juni 2005, Yakoub Islam, seorang Muslim dari Inggris, mengaktifkan portal online-nya yang disebut Muslim Anarchist Charter [2].

Portal tersebut menuliskan prisip-prisip dasar dari paham anarkis dan kesamaan tingkah laku yang diterapkan dalam pandangan para Muslim. Hal ini menyatukan beberapa prinsip inti dari ajaran Islam, termasuk kepercayaan pada Tuhan, kesucian Nabi Muhammad, dan kesucian jiwa manusia. Dituliskan juga kemungkinan bahwa jalan spiritual seorang Muslim hanya bisa dicapai dengan menolak bekerjasama dengan kekuasaan institusi dengan semua bentuknya, termasuk pengadilan, institusi sosial, keagamaan, perusahaan dagang dan partai politik. Setiap Muslim dituntut untuk membangun kerjasama sosial dimana perkembangan spiritual terjauhi dari tirani, perbedaan status sosial, dan jauh dari ketidakpedulian terhadap sesama manusia. Keyakinan ini adalah hal yang sungguh-sungguh dari prinsip dasar tanpa kompromi, yang dikembangkan dari visi utopian yang mana menginginkan manusia hidup dalam damai dan saling bekerjasama, keyakinan dalam ajaran Islam dan jalan politik dari paham anarkis tersebut yang membuat kokohnya persamaan Islam dan anarkisme.

Yakoub menyatakan dirinya sebagai Muslim Anarkis (atau seorang Anarkis yang Muslim), daripada menyebutnya seorang Anarkis yang Islami, karena dia menyadari adanya keberagaman dalam komunitas Muslim, dengan beberapa temuan pakar antropologi yang menyebutkan hanya ada satu Islam. Dan tentu saja hanya ada satu anarkisme.

Sejarah kecenderungan anarkisme terhadap Islam

Menurut sejarah, telah ada pergerakan anti penguasa dalam Islam, namun sejarah-sejarah tersebut tidak di dokumentasikan secara baik dan tidak membuat dampak besar pada jalan mainstream Islam.

Kejadian pertama yang pernah tecatat dari pergerakan anti penguasa dalam Islam adalah dimana saat telah meninggalnya Nabi Muhammad. Kaum Muslim dahulu mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang siapa yang harus menggantikan beliau sebagai pemimpin kaum Muslim, perdebatan itu menghasilkan terpisahnya kaum Syi’ah dan Sunni. Sebenarnya disana ada tiga golongan, bagaimanapun juga, kaum Kharijites, yang melawan kedua belah pihak yang saling bertentangan itu, menyatakan bahwa setiap Muslim yang memenuhi syarat dapat menjadi Imam. Mereka mengatakan bahwa semua orang mempunyai tanggung jawab masing-masing untuk memilih kebaikan dan kejahatan dari dirinya sendiri. Mereka menentang segala penguasaan dan membesarkan hati semua umat, terutama orang miskin dan orang yang tertindas, untuk melihat perjuangan melawan ketidakadlian sebagai penyelamat diri sendiri dengat sifat ketuhanan. Ada yang harus dicatat, walaupun Kharitijes melihat semua umat yang percaya pada Allah sepenuhnya sama tanpa memandang perbedaan status sosial, namun mereka percaya bahwa orang-orang yang berbeda keyakinan dengan mereka tidak mempunyai hak yang sama, dan bahkan boleh dibunuh.

Ketika Sunni dan Syi’ah disibukkan dengan pengembangan pemerintahan yang berdasarkan Islam, ide-ide pembebasan dalam Islam diteruskan oleh kebanyakan kaum Sufisme, yang bertahan pada ilmu kebatinan dari Islam. Sufisme telah sangat dikenal pada zaman kerajaan Islam. Perkembangan kaum Sufi terinspirasikan dibawah filsafat ketimuran, dan anti penguasa juga ide-ide revolusionernya dapat didengar sampai sekarang. Banyak perintah Sufi dan nasihatnya menyebutkan tentang perjuangan untuk persamaan hak kaum perempuan dan keadilan sosial.

Sufisme juga menghasilkan banyak puisi-puisi dan tulisan-tulisan Islami dimana dalam literatur-literatur tersebut kecenderungan anarkisme sangat terlihat. Salah satu penyair Sufi yang terkenal adalah Farid al-Din Attar dari Persia di abad ke-13. Dalam salah satu bukunya “Muslim Saints and Mystics: Episodes from the Tadhkirat al-Auliya’ (Memorial of the Saints)”, Attar menceritakan kisah dari seorang guru Sufi, Fozail-e Iyaz (yang diperkirakan hidup di abad ke-8) dan Khalifah Abbasid ke-5, Harun al-Rashid. Ketika Harun mencari orang di kerajaannya yang dapat memberitahukan kebenaran tentang dirinya, Harun menemukan Fozail, yang mana satu-satunya orang yang bebicara jujur dan tanpa ragu. Fozail memberitahukan bahwa dia menghargai ketidakadaan kekuasaan mutlak di dalam kerajaan Islam, dan dia mengatakan “Berserah diri kepada Tuhan, walau hanya untuk sebentar, lebih baik daripada beribu-ribu tahun mematuhi perintah raja Harun”. Walaupun banyak contoh kecenderungan anti pemerintahaan dalam sejarah Islam, perkembangan utama yang dapat terlihat terjadi di abad ke-20, dimana adanya pengenalan terhadap makna liberalisasi dalam Islam dan penyatuan dari pergerakan radikal Islam kiri.

Seorang kartunis dari Perancis Gustave-Henri Jossot, seorang kontributor yang berkala pada sebuah majalah anarkis, berpindah agama ke Islam pada tahun 1913, dia menemukan bahwa Islam adalah “Simpel, tanpa pendeta, tanpa dogma, dan hampir tanpa upacara-upacara keagamaan”, dengan alasan tersebut dia pindah agama. Setelah perubahan itu, dia terus mengkritik tentang konsep tanah suci, memperjuangkan hak-hak yang sama untuk semua orang, menolak aksi-aksi politik, kekerasan dan institusi pendidikan formal. Dia menolak aksi-aksi sosial, dengan alasan logis bahwa suatu perubahan hanya dapat terjadi pada suatu tingkatan individu, dimulai dari diri sendiri.

Seorang yang paling berpengaruh dan sangat penting di abad ke-20 adalah Ali Shariati, salah seorang pencetus ideologi Revolusi Islam di Iran. Jean Paul Sartre berkata: “Saya tak memiliki agama, namun apabila saya harus memilih, saya akan pilih agama Shariati”. Setelah terjadinya Revolusi Islam di Iran menjadi perhatian serius para penguasa disana, Shariati dimasukkan penjara karena ajaran-ajarannya, yang sangat populer dan dilaksanakan oleh murid-muridnya, Shariati dipaksa untuk meninggalkan Iran. Tak lama setelah itu Shariati ditembak mati oleh orang tak dikenal.

Walaupun Shariati bukan seorang anarkis, pandangannya akan Islam adalah agama yang revolusioner, berdampingan dengan kaum miskin dan tertindas. Dia percaya bahwa refleksi dari konsep Islam akan Tauhid (Kebersamaan, dan Tak Ada Tuhan Selain Allah) adalah tidak adanya kelas-kelas sosial.